Berkelakuan Baik Tak Cukup Dibuktikan dengan Selembar Kertas

Kredit Foto: Polri

Author: Penulis Lepas

Oleh : Yayat Rohayati

Selembar kertas bernama Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) sering dijadikan tolok ukur utama dalam menilai kelakuan baik seseorang di tengah birokrasi modern hari ini. Dalam kehidupan sosial maupun dunia kerja SKCK mampu mewakili integritas individu. Akhirnya masyarakat berbondong-bondong untuk membuat SKCK.

Seperti beberapa waktu lalu, ribuan peserta Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu memenuhi polres Subang untuk mendapatkan selembar kertas pernyataan bebas dari tindak kriminal, untuk melengkapi syarat administrasi (Tintahijau.com, 12/9).

Membludaknya pembuatan SKCK menandakan bahwa angka pengangguran di negeri ini masih tinggi. Kelengkapan syarat administrasi terkadang menjadi salah satu alasan sulitnya mendapatkan pekerjaan.

SKCK memang bisa menjadi bukti formal bahwa seseorang tidak memiliki catatan kriminal. Akan tetapi, tidak menggambarkan keseluruhan perilaku individu, melainkan hanya yang tercatat dalam sistem hukum. Seseorang bisa saja memiliki SKCK yang bersih, tetapi dalam kehidupan sehari-hari bertindak tidak jujur, tidak disiplin, atau bahkan merugikan orang lain.

Makanya tak heran jika dalam lingkup kehidupan masyarakat atau instansi banyak ditemui pihak-pihak yang melakukan kecurangan, tidak peduli dengan kondisi sekitar, korupsi dan lainnya.

Oleh karena itu, SKCK memang bisa dijadikan sebagai syarat administratif, tetapi tidak bisa dijadikan satu-satunya standar seseorang berkelakuan baik.

Dalam IsIam, standar berkelakuan baik terletak pada kepribadian (syakhshiyah) pada setiap manusia. Dimana ada dua faktor penentu seseorang dalam bersyakhshiyah, yang pertama pola pikir ('aqliyah), kedua pola sikap (nafsiyah).

Pola pikir yaitu cara untuk memikirkan sesuatu, mengenai keputusan hukum terhadap apa yang akan dilakukan. Tentunya dengan bersandar pada akidah IsIam. Maka, pola pikir yang digunakan merupakan pola pikir IsIam ('aqliyah islam).

Sedangkan pola sikap yaitu cara yang digunakan dalam rangka pemenuhan tuntutan ghorizah (naluri) dan hajatul'adhawiyah (kebutuhan jasmani). Dalam pemenuhan tuntutan kedua potensi tersebut harus dilakukan berdasarkan akidah IsIam pula. Maka, pola sikapnya merupakan pola sikap IsIam (nafsiyah Islamiyah).

Dengan dua faktor pembentuk kepribadian tersebut akan melahirkan kepribadian yang khas dan unik, yakni kepribadian IsIam (syakhshiyah IsIam).

Sehingga dalam berkehidupan tak perlu selembar kertas pernyataan berkelakuan baik. Karena jika seseorang sudah berkepribadian IsIam, yang menjadi tolak ukur perbuatan adalah halal haram, bukan materi dan kepuasan jasadiyah lagi.

Dalam IsIam, negara juga berkewajiban mempermudah pembuatan berkas-berkas administrasi warganya, apalagi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok keluarga. Seperti syarat administrasi untuk mendapatkan pekerjaan.

Karena negara bertanggung jawab atas rakyatnya. Rosulullah SAW bersabda:

"Imam (pemimpin) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya" (HR. Muslim, Ahmad).

Individu yang bersyakhshiyah IsIam akan ditemui dalam sebuah negara yang menerapkan sistem yang meyakini alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada yang menciptakan, lengkap dengan aturan berkehidupannya yaitu Allah SWT. Sebagai hamba yang ingin senantiasa mendapat ridhoNya, harus taat terhadap syari'at secara keseluruhan dalam berkehidupan. Itulah sistem IsIam.

Allah SWT berfirman:

"Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti" (TQS. Al-Hujurat:13).

Wallahua'lam.

Editor: Ibnu